Mitos tidak
lepas dari kehidupan sebagian masyarakat, tak terkecuali masyarakat yang
tinggal di sekitar Gunung Merapi. Mistisme kerap dilekatkan pada salah satu
gunung paling aktif di dunia ini. Mitos-mitos ini memang tidak serta merta
muncul.
Mitos-mitos
yang muncul lantas dikaitkan dengan pengetahuan tentang Gunung Merapi. Ada
beberapa sumber pengetahuan yang ditengarai oleh sosiolog UGM, Prof Heru
Nugroho, saling bersaing untuk memperoleh pembenaran. Gunanya adalah untuk
mendapat pengaruh di masyarakat.
"Ada
pengetahuan tradisional penduduk lokal yang tinggal di sekitar Merapi. Mereka
memercayai bahwa Merapi memiliki nyawa sebagai penunggu sehingga untuk
menghindari kemarahan penunggunya (warga) perlu mengadakan ritual dan juga
memberikan sesaji," kata Heru dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa
(2/11/2010).
"Yang
bisa berhubungan dan mengetahui kehendak penunggu hanya orang-orang tertentu,
sedang rakyat hanya percaya dan mengikuti kehendak elite-elite spiritual,"
sambung dia.
Karena itu
tidak heran jika para elite spiritual lokal kemudian memiliki privilege (hak
istimewa) dalam komunitasnya. Selain itu, cerita-cerita rakyat yang masih
berkembang di masyarakat semakin menguatkan mitos-mitos Merapi. Karena awalnya,
banyak masyarakat yang hidup dengan mistis, di mana animisme dan dinamisme
masih sangat berkembang.
"Mitologi
Merapi juga direproduksi Keraton Mataram, sengaja dipelihara demi tegaknya
kekuasaan kerajaan," lanjutnya.
Mitologi ini
menegaskan bahwa penunggu Merapi adalah Kiai Sapu Jagad dan penguasa Laut
Selatan adalah Kanjeng Ratu Kidul. Demi keberlangsungan kekuasaan Mataram, maka
raja Mataram harus berkolaborasi dengan dengan para penguasa lainnya. Bagaimana
caranya? Yakni dengan menjadikan Kiai Sapu Jagad sebagai mitra politik dan
Kanjeng Ratu Kidul sebagai permaisuri.
"Ada
ritual yang kemudian dilakukan masyarakat baik di Merapi maupun di Laut Selatan
agar para penguasa tidak marah," kata Heru.
Raja adalah
sosok yang dipercaya sebagai satu-satunya yang bisa berkomunikasi dengan
kekuatan gaib. Sedangkan masyarakat sekitar diposisikan sebagai pengikut yang
melaksanakan ritual untuk mempercayainya. Dengan ini, Heru melihat basis
kekuatan yang dibangun adalah legitimasi secara klenik dan mitos yang sengaja
dibangun. Hal ini masih dipercaya sebagian masyarakat.
"Ini
berkaitan dengan sistem kepemimpinan tradisional di Yogyakarta. Buktinya
setelah Mbah Maridjan tidak ada la
Sumber:
artikel.bermutu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar